Konten dari Pengguna

'Cuma Gacha Kok': Waspada Judi Terselubung dalam Game

Zein Muchamad Masykur
Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
11 Juli 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zein Muchamad Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gamers. Foto: Jacob Lund/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gamers. Foto: Jacob Lund/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Game. Satu istilah yang sudah sangat akrab di telinga masyarakat kita. Sejak dulu pada dasarnya kita telah banyak memainkan game, dari yang tradisional sampai yang modern. Misalnya dulu ketika kecil, kita bermain gobak sodor, polisi-maling, gundu, dan lain sebagainya yang menuntut aktivitas fisik di luar.
ADVERTISEMENT
Sampai kemudian era gawai, konsol dan komputer tiba, banyak yang kemudian menjajal permainan yang ditawarkan di platform tersebut. Dari yang paling legend, Zuma, Tetris, sampai Snaxenzia. Tentu generasi 80-90an sangat familiar dengan nama-nama tersebut.
Dari game-game di atas–baik yang tradisional dan digital, kita tidak menemui adanya fitur yang aneh atau menyebalkan–sebut saja tersembunyi, selain Easter Egg. Akan tetapi ini berbeda dengan game-game di era sekarang yang diam-diam menyelundupkan agenda-agenda kecil di dalam permainan yang mereka tawarkan. Bahkan terkadang para pemain tidak menyadari bahwa mereka sedang dilatih, dibiasakan, dan ‘dinormalisasikan’ ke dalam alam bawah sadar mereka–kita semua.
Misalnya adanya fitur gacha. Meminjam pengertian dari Gramedia.com, “Gacha atau gachapon merupakan istilah yang digunakan untuk mesin mainan di Jepang. Mesin ini dianggap menarik karena menyediakan berbagai produk mainan secara acak dalam kapsul kecil dan kita tak akan tahu item apa yang akan didapatkan.”
ADVERTISEMENT
Konsep dari gacha ini kemudian diimplementasikan ke dalam game-game yang banyak beredar di pasar game–lihat saja di Play Store, App Store, dan penyedia game lain. Para pemain dapat membeli ‘kapsul kecil’ yang ditawarkan tanpa tahu item apa yang akan mereka peroleh. Pembelian ‘kapsul kecil’ ini melibatkan mata uang yang bisa diperoleh dengan bermain, sampai mata uang asli. Bahkan beberapa game membatasi pembelian ‘kapsul kecil’ ini hanya dapat dilakukan dengan mata uang asli.
Memang apa masalahnya? Masalahnya adalah bahwa dalam setiap pembelian ‘kapsul kecil’ ini, kita tidak pernah tahu apa yang akan didapat. Bisa saja nilai dari barang yang didapat lebih kecil dari jumlah uang yang dipakai, bisa juga nilai dari barang yang didapat lebih besar dari jumlah uang yang dipakai.
ADVERTISEMENT
Misalnya pemain membeli satu ‘kapsul kecil’ dengan harga 1000 gold (mata uang game) untuk satu kali putaran, jika pemain beruntung bisa mendapatkan item legendaris yang bernilai puluhan kali lebih banyak dari jumlah gold yang dibayarkan, dan jika tidak beruntung pemain mendapatkan item sampah yang bahkan nilainya ratusan kali lebih sedikit dari jumlah gold yang dibayarkan.
Ini seperti ketika memainkan judi roulette di pasar malam tempoe dulu–mungkin sekarang masih ada. Pemain membayar beberapa ribu –kisaran 1.000 sampai 5.000 rupiah tergantung dengan hadiah yang ditawarkan. Misalnya dengan biaya Rp 1.000 untuk satu kali putaran, jika pemain beruntung mendapatkan rokok satu bungkus yang nilainya hampir 10 kali lipat lebih banyak dari uang yang dibayarkan, dan jika tidak beruntung mendapatkan permen jahe yang nilainya 10 kali lipat lebih sedikit dari uang yang dibayarkan.
ADVERTISEMENT
Jika kita pikirkan lagi, konsep gacha dengan judi roulette pada akhirnya bertemu pada benang merah; perjudian, untung-untungan, dan suka-suka bandar. Misalnya untuk gacha, para pengembang memiliki algoritma sedemikian rupa demi menjaga keuntungan komersil mereka demi tetap mendapatkan cuan dari sistem gacha ini. Pun sama dengan roulette di pasar malam, para pemiliknya memiliki ‘algoritma’ sedemikian rupa untuk menjaga keuntungan mereka. Dua-duanya sama-sama bandar, sama-sama pebisnis.
Mirisnya adalah bahwa jika dulu, hanya orang-orang dewasa saja yang boleh bermain roulette di pasar malam. Anak-anak hanya boleh nonton saja–sambil berharap mendapat permen jahe dari para pemain yang kalah. Oleh karena itu hadiahnya adalah barang-barang yang disukai oleh orang dewasa, seperti rokok, kartu remi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sekarang, game yang memiliki sistem gacha itu dimainkan oleh anak-anak yang masih di bawah umur–bahkan masih SD. Mereka dikenalkan, diajarkan, dan dibiasakan dengan sistem gacha yang sebetulnya sama persis dengan roulete tadi.
Meskipun sebetulnya tidak hanya roulette saja yang, ini juga sama dengan sistem judi tarik benang–bayarnya sama barangnya variatif harganya, ada yang nilainya jauh lebih kecil dari jumlah uang yang dibayarkan, ada yang nilainya jauh lebih besar dari jumlah uang yang dibayarkan.
Ini miris karena anak-anak sekarang banyak yang menjadi terbiasa dengan sistem perjudian terselubung semacam ini. Bahkan di beberapa negara sudah ‘mengharamkan’ adanya sistem gacha di dalam game. Saya pinjam informasi dari hybrid.co.id, bahwa 18 negara di Eropa sudah melarang adanya sistem gacha ini (atau biasa disebut dengan Loot Box).
ADVERTISEMENT
Ini menjadi masalah serius di Eropa karena target dari sistem ini adalah masyarakat rentan, dan sistem ini rawan sekali untuk mengeksploitasi para korbannya untuk jatuh ke dalam jebakan beli beli dan beli atau konsumerisme–meminjam istilah dari Herbert Mercuse.
Saya menganalisis bahwa beberapa aspek psikologis yang mencoba diganggu oleh sistem gacha ini adalah ketergantungan, kecanduan, dan kecemasan. Karena sifat game yang adiktif sehingga membuat orang merasa sakaw jika tidak bermain game sehari saja, ini menyebabkan ketergantungan dan kecanduan yang parah. Dalam salah satu video YouTube bahkan ada yang membuat kompilasi bocil marah-marah karena gawai mereka disita orang tua mereka –silakan dilihat sendiri dan rasakan betapa mirisnya.
Selain itu, aspek kecemasan juga menjadi target operandi dari sistem gacha ini. Misalnya begini, ada salah satu teman bermain yang memiliki item atau skin tertentu yang hanya bisa diperoleh melalui sistem gacha, lalu korban merasa tertinggal, merasa tidak sama, merasa tidak selevel dengan teman bermainnya.
ADVERTISEMENT
Ini menimbulkan kecemasan sehingga mau tidak mau korban akhirnya menghabiskan uangnya untuk membeli dan terus membeli sampai mendapatkan item atau skin yang diinginkan. Kecemasannya tidak akan terobati sampai mendapatkan barang yang sama dengan teman bermainnya, atau bahkan mungkin sampai pada tingkatan harus lebih dari teman bermainnya. Kemenangan semu ini yang kemudian memberi makan dari gejala-gejala gangguan psikologis di atas.
Oleh karena itu, semua pihak khususnya orang tua perlu memberikan pengawasan lebih lanjut kepada anak-anak mereka. Pascapandemi, seolah memberikan legitimasi bahwa anak-anak ‘bebas dan baik’ untuk menggunakan gawai mereka dan orang tua tidak lagi mempermasalahkan apa yang dilakukan anak-anak mereka dengan gawai mereka–asalkan tidak membuka konten dewasa.
Ini perlu dipahami oleh para orang tua karena anak-anak mereka diam-diam dibiasakan dengan sistem perjudian bahkan sejak masa golden age mereka. Bahkan, banyak orang tua tidak tahu bahwa game yang tampaknya biasa saja dimainkan oleh anak-anak mereka, ada perjudian di dalamnya. Anak-anak mereka, dilatih pola pikirnya setiap hari untuk terbiasa dengan perjudian. Tentu ini berdampak terhadap cara berpikir generasi mendatang.
ADVERTISEMENT