Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Toxic Positivity: Ketika 'Good Vibes Only' Malah Bikin Bad Mood
25 Juli 2024 10:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Zein Muchamad Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda merasa dunia ini terlalu optimis? Oke, mungkin tidak di tengah pandemi atau krisis ekonomi. Tapi pernahkah Anda merasa muak dengan orang-orang yang selalu bilang "Berpikir positif saja!" atau "Good vibes only!" setiap kali Anda mengeluh? Jika iya, selamat! Anda mungkin sedang berhadapan dengan fenomena yang disebut "toxic positivity".
ADVERTISEMENT
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kecenderungan untuk selalu memaksakan sikap positif dalam segala situasi, bahkan ketika menghadapi masalah yang sangat berat. Ini seperti mencoba menutupi bau sampah dengan parfum mawar-mungkin tercium harum sebentar, tapi sampahnya tetap ada dan makin lama makin busuk.
Dr. Jaime Zuckerman, seorang psikolog klinis, mendefinisikan toxic positivity sebagai "penolakan atau minimalisasi emosi negatif yang dialami seseorang". Dengan kata lain, ini adalah versi dewasa dari "Sudah, jangan nangis!"
Tanda-tanda Toxic Positivity
1. Selalu bilang "Lihat sisi positifnya!" - Bahkan ketika seseorang baru saja kehilangan pekerjaan atau putus cinta.
2. Menggunakan kata-kata klise - "Semuanya terjadi karena suatu alasan", "Apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat", dll.
ADVERTISEMENT
3. Menyalahkan orang lain atas perasaan negatif mereka - "Kamu sedih karena kamu memilih untuk sedih."
4. Meremehkan pengalaman orang lain - "Ah, masih mending daripada aku!"
5. Memaksa orang untuk selalu tersenyum-Karena senyum adalah obat untuk segala masalah, kan? (Spoiler: tidak)
Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Meskipun niatnya baik, toxic positivity bisa memiliki dampak negatif yang serius:
1. Menekan Emosi: Ketika kita terus-menerus menekan emosi negatif, mereka tidak hilang. Mereka hanya menumpuk dan bisa meledak di saat yang tidak tepat. Seperti mencoba menahan kentut di lift - cepat atau lambat, akan keluar juga dan situasinya akan jauh lebih buruk.
2. Menimbulkan Rasa Bersalah: Orang bisa merasa bersalah karena tidak bisa "berpikir positif" seolah-olah kesedihan mereka adalah pilihan.
ADVERTISEMENT
3. Menghambat Pertumbuhan: Kita belajar dan tumbuh dari pengalaman negatif. Jika selalu menghindarinya, kita bisa kehilangan kesempatan untuk berkembang.
4. Merusak Hubungan: Ketika seseorang sedang sedih dan kita hanya memberi nasihat positif yang dangkal, itu bisa membuat mereka merasa tidak dipahami dan menjauh.
5. Mengabaikan Masalah Nyata: Kadang, "berpikir positif" digunakan sebagai alasan untuk tidak menghadapi atau menyelesaikan masalah yang sebenarnya.
Asal-usul Toxic Positivity
Obsesi dengan kebahagiaan dan sikap positif sebenarnya fenomena yang relatif baru. Dr. Barbara Ehrenreich dalam bukunya "Bright-sided" menjelaskan bahwa gerakan "berpikir positif" mulai populer di Amerika pada abad ke-19 sebagai reaksi terhadap Calvinisme yang suram.
Sejak itu, industri self-help yang bernilai miliaran dolar telah berkembang, menjual ide bahwa kebahagiaan adalah pilihan dan kita bisa mendapatkan apa pun yang kita inginkan hanya dengan "berpikir positif".
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan munculnya media sosial yang mendorong kita untuk selalu menampilkan sisi terbaik kehidupan kita, tidak heran jika kita jadi terobsesi dengan kebahagiaan dan positivity.
Bagaimana Menghindari Toxic Positivity tanpa Menjadi Pesimis?
1. Akui dan Terima Emosi Negatif: Ingat, semua emosi valid. Tidak apa-apa merasa sedih, marah, atau frustrasi.
2. Dengarkan Tanpa Menghakimi: Ketika seseorang curhat, terkadang mereka hanya butuh didengarkan, bukan diberi nasihat.
3. Gunakan Empati: Alih-alih berkata "Lihat sisi positifnya!", coba katakan "Aku mengerti ini situasi yang sulit. Bagaimana perasaanmu?"
4. Bersikap Realistis: Kehidupan tidak selalu indah, dan itu oke. Kita bisa tetap optimis tanpa mengabaikan realitas.
5. Praktikkan Self-compassion: Bersikap baik pada diri sendiri saat menghadapi kesulitan, bukan malah menyalahkan diri karena tidak bisa "berpikir positif".
ADVERTISEMENT
Kesimpulan: Menemukan Keseimbangan antara Positif dan Negatif
Jadi, apakah ini berarti kita harus berhenti bersikap positif sama sekali? Tentu saja tidak! Sikap positif tetap penting, tapi kuncinya adalah keseimbangan.
Dr. Susan David, penulis buku "Emotional Agility", menyarankan pendekatan yang dia sebut "emotional agility". Ini berarti mengakui dan menerima semua emosi kita, baik positif maupun negatif, dan belajar merespons mereka dengan cara yang sehat dan produktif.
Alih-alih memaksakan "good vibes only", mungkin kita bisa mulai dengan "all vibes welcome". Karena pada akhirnya, menjadi manusia berarti mengalami spektrum emosi yang luas--dan itu yang membuat hidup kita kaya dan bermakna.
Jadi, lain kali ketika seseorang mengatakan "Berpikir positif saja!" ketika Anda sedang down, Anda punya izin dari artikel ini untuk memutar mata (dengan sopan, tentu saja). Karena kadang-kadang, satu-satunya hal positif yang bisa kita lakukan adalah mengakui bahwa situasinya memang buruk.
ADVERTISEMENT
Dan itu oke. Sungguh. Positive vibes? Sure. Tapi jangan lupa, negative vibes juga punya tempat di pesta kehidupan ini. Jadi, mari kita rayakan keduanya--dengan seimbang dan bijaksana.
Akhir kata, ingatlah bahwa hidup ini seperti cuaca, kadang cerah, kadang mendung, kadang badai. Dan itu semua adalah bagian normal dari pengalaman manusia. Jadi, alih-alih selalu mengejar "good vibes only", mungkin yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk menari di bawah hujan dan bersyukur saat matahari bersinar.
Karena pada akhirnya, hidup yang benar-benar positif adalah hidup yang mampu menerima dan menghargai semua pengalaman--baik yang menyenangkan maupun yang menantang. Dan itu, teman-teman, adalah vibes yang benar-benar worth celebrating.