Konten dari Pengguna

Kepastian Hukum Penerima Bantuan Iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Zilmi Haridhi
Seorang paralegal dan peneliti hukum di Edi Yunara, S.H & Associates Law Firm
27 September 2024 15:42 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kesenjangan Perekonomian dalam Masyarakat. Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kesenjangan Perekonomian dalam Masyarakat. Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari – Agustus 2024 mencapai 46.240 orang. Jumlah PHK ini meningkat 23,7% dibanding tahun sebelumnya pada periode yang sama, sebanyak 37.375 pekerja. Para pekerja yang di-PHK banyak beralih menjadi pekerja informal. Per Februari 2024 proporsi pekerja informal Indonesia telah mencapai 59,17%, meningkat dibandingkan data Agustus 2019 yaitu sebanyak 55,88%.
Peningkatan jumlah pekerja informal perlu didukung dengan jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker) yang memadai karena pekerja informal biasanya bekerja di sektor yang rentan terhadap risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja seperti sektor pertanian, perikanan, dan pekerja rumah tangga. Permasalahannya, pekerja informal yang dilindungi oleh Jamsosnaker jumlahnya masih sangat sedikit. Pada semester pertama tahun 2024, peserta aktif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dari sektor informal baru sebanyak 7,96 juta jiwa. Minimnya kepesertaan pekerja informal disebabkan peserta kerap kesulitan untuk membayarkan iuran secara rutin akibat fluktuatifnya pendapatan. Beberapa daerah telah membuat aturan penerima bantuan iuran (PBI) Jamsosnaker, seperti Kediri dan Blitar. Namun, secara nasional belum ada aturan terkait pemberian bantuan iuran tersebut. Oleh karena itu tulisan ini akan membahas sejauh mana urgensi pengaturan PBI Jamsosnaker dan siapa saja yang berhak menerima bantuan tersebut.
ADVERTISEMENT

Urgensi Pengaturan PBI Jamsosnaker

Pasal 17 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) mengatur bahwa iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan masyarakat tidak mampu dibayarkan oleh pemerintah. Berdasarkan Pasal 18 UU SJSN, jaminan sosial terdiri atas: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, menambahkan satu jaminan sosial lagi, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan. Meskipun Pasal 17 ayat (4) UU SJSN mengatur bantuan iuran untuk semua jaminan sosial, akan tetapi ayat (5) menyatakan adanya tahapan dalam pembayaran. Untuk tahap pertama iuran dibayarkan bagi program jaminan kesehatan. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait pembayaran iuran lainnya. Kelima iuran lainnya seharusnya tergabung dalam program Jamsosnaker karena terkait dengan pekerja dan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Dalam teori hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Bagir Manan terdapat tiga pertimbangan yang mendasari lahirnya suatu peraturan, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Pendekatan ini tentunya dapat digunakan untuk menentukan waktu yang tepat untuk lahirnya peraturan terkait PBI Jamsosnaker.
Pertimbangan filosofis merupakan alasan dibentuknya suatu peraturan dengan mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 (Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan/Lampiran UU P3).
Pemberian bantuan iuran Jamsosnaker adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat sila ke-5 Pancasila. Keadilan sosial berarti keadilan harus diterapkan bagi masyarakat dalam segala aspek kehidupan, baik secara material maupun spiritual. Selain itu, pemberian bantuan ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan tujuan pembentukan Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi seluruh bangsa Indonesia dan tumpah darahnya serta memajukan kesejahteraan umum.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan sosiologis merupakan alasan yang menggambarkan bahwa peraturan dibentuk demi memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek (Lampiran UU P3). Dalam perspektif penyelenggaraan SJSN, tanggung jawab negara dalam memberikan pelindungan kepada rakyatnya adalah dengan memberikan bantuan iuran program jaminan sosial kepada fakir miskin dan tidak mampu. Menurut Pakar Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Nur Effendi, program PBI Jamsosnaker bagi pekerja informal akan membantu menjaga kestabilan ekonomi pekerja karena ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja, pekerja tidak perlu mengeluarkan biaya. Selain itu ketika pekerja meninggal, keluarga juga akan menerima santunan. Hadi Subhan menambahkan adanya program ini akan membantu menurunkan angka kemiskinan.
Sedangkan pertimbangan yuridis merupakan alasan yang menggambarkan bahwa peraturan dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan (Lampiran UU P3). Sebagai pelaksanaan dari amanat UUD NRI Tahun 1945, telah disahkan dan diundangkan UU SJSN sebagai dasar hukum pelaksanaan sistem jaminan sosial. UU SJSN mengamanatkan penyusunan PP untuk mengatur PBI Jamsosnaker. Namun hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur hal tersebut sehingga terjadi kekosongan hukum. Di lain pihak, dengan semakin banyak pekerja formal yang beralih menjadi pekerja informal, sangat mendesak untuk segera dirumuskan regulasi yang mengatur PBI Jamsosnaker. Beberapa daerah sudah membuat aturan terkait PBI Jamsosnaker, seperti Blitar dan Kediri. Hanya saja peraturan tersebut berlaku sementara (tergantung anggaran) dan bersifat lokal, sehingga tidak ada keadilan bagi seluruh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 memberikan mandat untuk pemenuhan target cakupan PBI Jamsosnaker sampai dengan tahun 2024 sejumlah 20 juta orang. Hanya saja karena tiadanya pengaturan, maka hingga saat ini program PBI belum terealisasi. Berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dapat diketahui bahwa keberadaan PP terkait PBI Jamsosnaker sangat dibutuhkan.

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Menurut Pasal 17 UU SJSN yang berhak menerima bantuan iuran adalah fakir miskin dan tidak mampu. Pasal 1 angka 8 Permensos No. 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (Permensos DTKS) menyebutkan bahwa fakir miskin merupakan orang yang tidak memiliki mata pencaharian dan/atau memiliki mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupannya dan/atau keluarganya. Sedangkan Pasal 1 angka 9 menyebutkan orang tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencarian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar layak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 17 UU SJSN dan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Permensos DTKS, semua orang yang bekerja yang termasuk kategori miskin dan tidak mampu menjadi peserta PBI Jamsosnaker. Lingkup orang yang bekerja sangat luas, tidak hanya pekerja yang bekerja pada orang lain akan tetapi juga orang yang bekerja mandiri, seperti wirausaha UMKM ataupun dengan konsep kemitraan, seperti driver ojek online. Bagi pekerja formal tidak termasuk penerima PBI Jamsosnaker karena bekerja di dalam hubungan kerja. Pada pekerja formal, kepesertaan Jamsosnaker menjadi kewajiban pemberi kerja untuk mengikutsertakan pekerjanya pada program tersebut (Pasal 13 ayat (1) UU SJSN).
Berdasarkan data Kementerian Sosial, pada Oktober 2021 terdapat 43,83 juta (45,27%) peserta PBI JKN adalah orang yang bekerja. Apabila 43,83 juta orang tersebut mendapatkan jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) dengan iuran sejumlah Rp16.800, maka per tahunnya pemerintah harus mengeluarkan dana sebesar Rp8,8 triliun. Jumlah tersebut melebihi hasil investasi per tahun BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp6,8 triliun (2022-2023). Jika dipaksakan tentu akan menggerus dana investasi BPJS Ketenagakerjaan yang pada tahun 2023 mencapai Rp708,98 triliun.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sebaiknya pemberian dilakukan secara bertahap dengan mengutamakan pekerja informal. Pekerja informal merupakan pekerja yang bekerja di luar hubungan kerja. Artinya, tidak didasarkan pada perjanjian kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Ketiadaan perjanjian kerja membuat pekerja informal memiliki risiko besar dalam bekerja. Hanya saja tidak semua pekerja informal merupakan penduduk miskin dan tidak mampu. Oleh karena itu, dibutuhkan pemilahan data terhadap pekerja miskin dan tidak mampu yang dimiliki Kementerian Sosial dan digunakan sebagai dasar pemberian JKN yang ada saat ini.
Pemilahan data dapat dilakukan dengan menetapkan terlebih dulu kriteria pekerja informal miskin dan tidak mampu. Penetapan tersebut akan memudahkan verifikasi di lapangan. Karena berkaitan dengan permasalahan ketenagakerjaan maka verifikasi harusnya melibatkan dinas dan Kementerian Ketenagakerjaan. Penetapan kriteria penerima dan proses verifikasi ini hendaknya diatur dalam PP terkait PBI Jamsosnaker.
ADVERTISEMENT