Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menavigasi Reformasi Birokrasi Pada Pemerintahan Prabowo-Gibran
14 Oktober 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 19 September 2024 DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna. Terdapat enam poin perubahan dalam revisi tersebut, salah satunya perubahan Pasal 15 yang menyebutkan jumlah keseluruhan kementerian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Hal ini berarti memberikan kebebasan kepada Presiden untuk menentukan jumlah kementerian yang akan dibentuk sesuai dengan kebutuhan dalam kabinetnya dan tidak lagi dibatasi hanya 34 kementerian.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum pengesahan revisi UU tersebut dilakukan, wacana terkait perubahan UU tentang Kementerian Negara telah banyak menimbulkan kontroversi publik terkait efektivitas pemerintahan Prabowo-Gibran jika terjadi penambahan pada kementerian atau lembaga ke depannya. Adapun Prabowo-Gibran mengusung visi “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”, sedangkan salah satu misi dalam Delapan Misi Asta Cita yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Rencana Desain Kabinet
Meskipun perubahan pada UU Kementerian Negara memunculkan banyak pro dan kontra, pemerintah memiliki pandangan yang positif mengenai langkah perubahan dalam UU ini. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan RB), Azwar Anas, mengungkapkan pandangannya bahwa perubahan UU ini akan membuka babak baru dalam perbaikan tata kelola pemerintah serta akan menjadi fondasi penting untuk mempercepat transformasi pemerintahan. Azwar Anas juga mengatakan perubahan UU ini akan memiliki dampak terhadap penyesuaian kelembagaan kementerian dengan tujuan untuk membangun sistem pemerintah yang lebih responsif, fleksibel, dan adaptif sehingga ini merupakan langkah yang strategis dalam merespons perkembangan zaman. Sementara itu, dalam Rapat Paripurna, Anggota DPR RI, Diah Pitaloka dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memberikan catatan bahwa jumlah kementerian negara tetap harus memperhatikan aspek efektivitas dan efisiensi sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta mempertimbangkan anggaran negara dikarenakan kapasitas fiskal belanja pemerintah pusat memiliki sumber daya yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Besarnya koalisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran mengundang banyak asumsi mengenai ukuran kabinet yang akan dibangun. Namun demikian, terkait rencana desain kabinet sempat muncul bahwa presiden terpilih akan membentuk sebuah kerangka kabinet “zaken”. Kabinet “zaken” merupakan kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi partai politik tertentu, meskipun ahli tersebut dapat berasal dari kalangan partai politik tertentu. Fungsi utama dari adanya kabinet zaken adalah agar tidak terjadi multifungsi kabinet, memaksimalkan kinerja para menteri, dan menghindari terjadinya korupsi yang dilakukan para menteri di kabinet.
Kabinet zaken sebenarnya bukanlah konsep baru pada setiap era pemerintahan. Begitupun pada era pemerintahan Joko Widodo, penerapan kabinet zaken masih dilakukan meskipun tak seluruhnya dijabat oleh kalangan ahli namun porsi yang diberikan cukup besar dan Jokowi tercatat sebagai presiden yang memberikan porsi terbesar dalam kabinet untuk kalangan nonpartai sejak pemilihan presiden dilakukan secara langsung pada tahun 2004. Pembentukan kabinet zaken pada dasarnya menjalankan prinsip “the right man on the right place” atau menempatkan orang yang tepat dalam posisi yang tepat sesuai dengan latar belakang yang dimilikinya. Oleh karena itu, apabila kabinet zaken nantinya yang akan dibentuk oleh pemerintahan mendatang, diharapkan kinerjanya akan lebih profesional dan lebih berpihak pada kepentingan rakyat daripada kabinet yang berbasis pada kepentingan partai semata.
ADVERTISEMENT
Strategi Reformasi Birokrasi ke Depan
Definisi birokrasi ideal menurut Max Weber adalah birokrasi yang mampu mengatasi ketidakefisienan serta ketidakpraktisan dalam tubuhnya sendiri. Hal ini menjadi landasan teoritikal hadirnya debirokratisasi sebagai jalan untuk melakukan perampingan kelembagaan yang kemudian memunculkan istilah reinventing government. Teori tersebut mendambakan pemerintahan yang smaller (ramping), better (lebih baik), faster (lebih cepat), dan cheaper/lebih murah.
Sebagai contoh pada tahun 2015 pemerintah merilis Paket Kebijakan Ekonomi I yang mencakup deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Digitalisasi layanan di ranah perizinan terbentuk pada tahun 2018 melalui layanan Online Single Submission (OSS). Kemudian pada tahun 2020 pemerintah membentuk Undang-Undang Cipta Kerja dan diperbaiki pada tahun 2022. Upaya di atas merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintahan Joko Widodo untuk memperbaiki ekosistem investasi di Indonesia, dan niat tersebut semakin terlihat ketika Presiden Jokowi melakukan perubahan nomenklatur pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Kementerian Investasi.
ADVERTISEMENT
Fakta di lapangan berbicara lain. Tidak semua pelaku usaha bisa mengakses layanan perizinan digital secara single login (satu login untuk semua layanan perizinan). OSS masih perlu terhubung dengan dukungan aplikasi perizinan dari kementerian terkait seperti Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG) milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) milik Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Amdalnet milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hal ini membuktikan alur birokrasi di pusat belum bisa bekerja melalui satu pintu dan masih multibirokrasi. Program pemerintah yang dibuat dalam bentuk aplikasi di atas nyatanya masih banyak yang bersifat koordinatif, terlebih dengan adanya peluang penambahan atau perubahan nomenklatur kementerian di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran maka tidak dipungkiri akan memperpanjang alur birokrasi karena setiap kementerian akan memiliki mekanismenya sendiri, terlebih untuk masalah perizinan. Hal ini merupakan salah satu pekerjaan rumah yang besar sekaligus tantangan untuk pemerintahan ke depan.
ADVERTISEMENT
Segenap perbaikan masih harus dilakukan. Upaya perbaikan perlu melibatkan pemikiran dan pendekatan kreatif untuk menghasilkan perubahan serta nilai tambah yang signifikan dengan sikap terbuka pada sistem nilai baru, bukan hanya melakukan pendekatan berbagai inovasi yang mengadopsi teknologi canggih atau penciptaan produk baru saja. Seperti halnya dengan regulasi yang masih terhitung cukup rumit sehingga masih terdapat mindset atau mentalitas yang melekat dengan inefisiensi, oleh karena itu perbaikan efisiensi harus dimulai dari perubahan.
Setidaknya arah reformasi birokrasi dalam perencanaan kabinet zaken pada pemerintahan mendatang sebaiknya juga mengalami tujuh perubahan mindset. Pertama, pemerintah harus berubah dari complicator menjadi problem solver. Regulasi yang kompleks dan masih tumpang tindih harus segera dibenahi. Pemerintah harus menjadi pemecah masalah, bukan lagi sebagai penghambat pemecahan masalah. Dengan peluang penambahan kementerian dan rencana penerapan kabinet zaken, presiden bisa kembali memperjelas koridor kewenangan yang dimiliki kementerian atau lembaga sesuai dengan bidangnya masing-masing terutama bidang pemerintahan yang saat ini dinilai masih tumpang tindih secara fungsi. Kedua, dari creator menjadi facilitator. Seperti halnya pemerintah harus beralih dari pencipta langsung lapangan kerja menjadi fasilitator pencipta lapangan kerja, dengan maksud mengubah profit oriented menjadi akselerator pembangunan lapangan kerja. Orientasi profit inilah yang menciptakan peluang perilaku korupsi dan kolusi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, mengubah mental proyek menjadi mental program yang memiliki fokus pada efisiensi anggaran untuk tujuan jangka panjang dengan orientasi program yang berbasis data penelitian dan kebijakan yang berkelanjutan. Keempat, dari sisi investasi, pemerintah jangan terlalu pasif menunggu dan harus lebih proaktif mencari peluang dengan terus memperkenalkan potensipotensi Indonesia di negara luar. Tentu hal ini juga harus didukung dengan regulasi yang jelas dan stabilitas politik yang mumpuni di dalamnya. Investor tidak berminat menanamkan aset miliknya di suatu negara yang pemerintahannya tidak mampu menjaga ketertiban dalam rumah tangganya sendiri, karena itu dianggap sebagai resiko yang cukup besar dalam dunia bisnis.
Kelima, mengubah orientasi proses menjadi orientasi output. Birokrasi kita masih seringkali terjebak dalam kerumitan administratif pelaporan dan pertanggungjawaban seperti pemenuhan berbagai indikator-indikator kerja sebagai bukti kinerja dibandingkan output nyata yang berdampak dan berkelanjutan. Keenam, mengubah mindset kaku menjadi adaptif. Pemerintah harus terbuka untuk berkolaborasi dengan banyak pihak dan memberikan ruang gagasan yang inovatif serta mengurangi ego sektoral di internal pemerintahannya sendiri guna memperbaiki hubungan antarkementerian dan lembaga. Ketujuh, pemerintah harus menghargai waktu. Salah satu masalah yang sering ditemui oleh masyarakat jika berurusan dengan pemerintah adalah masalah waktu dan tenggat. Oleh karena pemerintah sebagai satu-satunya pemangku kepentingan sehingga fleksibilitas dan hierarki dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan kepatuhan pada jadwal atau kesepakatan. Hal ini bisa menyebabkan program tertunda, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT