Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Polemik Rumit Larangan Kantong Plastik
16 Juli 2020 13:16 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
Tulisan dari Zuliyan M Rizky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kiranya isu larangan kantong plastik yang diterapkan di DKI Jakarta pada 1 Juli 2020 silam tidak akan sepopuler isu penanggulangan Covid-19 yang tengah berlangsung di Indonesia. Namun, walau tidak se-populer Covid-19, isu lingkungan tetap memiliki subtansi yang tentunya tidak kalah penting dan genting.
ADVERTISEMENT
Polemik larangan kantong plastik kembali mempertemukan dua isu yang saling bertentangan, ekonomi dan lingkungan. Seakan kepentingan diantara keduanya harus mengorbankan salah satunya. Pembangunan ekonomi yang masif akan berdampak pada perusakan lingkungan secara besar-besaran. Begitupun konsistensi menjaga lingkungan yang terlalu protektif akan menjadikan suatu negara semakin tertinggal dan tidak adaptif terhadap perubahan.
Walau demikian ekonomi dan lingkungan adalah isu yang saling berkaitan, bukan dua hal yang selalu berbenturan. Membangun ekonomi akan mengembangkan peradaban serta meningkatkan taraf layak kehidupan, sedangkan menjaga lingkungan adalah investasi untuk masa depan. Keduanya harus seimbang dan tidak boleh ada salah satu yang terabaikan. Etika membangun seperti ini seyogyanya dimiliki oleh setiap pembuat kebijakan.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat yang diundangkan pada 31 Desember 2019 menjadi momentum penting dan strategis bagi pihak yang mendukungnya. Penting karena tidak banyak instrumen hukum mengatur penggunaan kantong plastik, strategis sebab DKI Jakarta dapat menjadi role model bagi pemerintah daerah lainnya atau bahkan untuk level nasional. Walau memiliki urgensi sendiri, upaya DKI Jakarta diapresiasi sebagai langkah pertama dalam konsistensi negara menjaga lingkungan.
ADVERTISEMENT
DKI Jakarta bukan yang pertama kali memberlakukan larangan kantong plastik. Sebelumnya sudah ada Banjarmasin, Denpasar, Balikpapan, Bogor, Bekasi, Semarang, dan beberapa kota/kabupaten lainnya. Penerapan kebijakan diantaranya telah berjalan efektif. Laranngan kantong plastik meluas hingga sedotan plastik dan styrofoam. Walau demikian, larangan kantong plastik bukan tanpa kontroversi dan kritik, serta polemik yang begitu rumit.
Urgensi Larangan Kantong Plastik
Membahas larangan kantong plastik lewat dimensi lingkungan. Dalam angka, posisi Indonesia sangat mengkhawatirkan. Riset Jenna R. Jambeck menempatkan Indonesia di urutan kedua setelah Tiongkok sebagai negara dengan pengelolaan sampah plastik yang bermasalah. Analisis World Bank Group memperkirakan sebanyak 1,27 juta ton sampah plastik di laut disumbang oleh 87 kota pesisir. 64 juta ton sampah plastik disebutkan Badan Pusat Statistik (BPS), dengan klasifikasi 3,2 juta ton diantaranya terbuang ke laut dan 85.000 ton diantaranya adalah kantong plastik. Hingga data terbaru, khususnya di masa pandemi, disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu sebesar 67,8 juta ton. Angka tersebut masih berpotensi mengalami peningkatan, yang sangat dipengaruhi oleh tren gaya hidup serta kuantitas pertumbuhan penduduk.
ADVERTISEMENT
Beberapa catatan mengiringi mengapa jumlah sampah plastik di Indonesia sedemikian fantastis. Pertama, impor sampah plastik yang begitu masif. Analisis United Nations Commodity Trade Statistics Database menyebutkan bahwa pengirim sampah plastik ke Indonesia berasal dari Asia, Eropa, Amerika, sampai Kepulauan Pasifik. Kebijakan Tiongkok mengurangi impor plastik ke negaranya berdampak langsung pada Indonesia. Pada tahun 2018, impor sampah plastik mencapai 320.452 ton. Jumlah tertinggi dalam 18 tahun terakhir.
Kedua, masifnya konsumsi plastik sekali pakai di masyarakat. Berbagai macam gerakan, komunitas, dan inisiatif didorong demi meminimalisir penggunaan plastik. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah plastik mencapai 98% dari total responden, namun hanya separuh diantaranya yang melakukan pemilahan sampah plastik tersebut. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran tinggi di masyarakat, belum ditindak lanjuti dengan aksi nyata.
ADVERTISEMENT
Ketiga, impor dan konsumsi plastik tinggi, namun tidak disertai dengan infrastruktur serta manajemen pengelolaan sampah plastik yang memadai. Sebanyak 7,2 juta ton sampah plastik setiap tahunnya, hanya 13% yang telah didaur ulang. Selain itu, dari kapasitas 2 juta ton sampah plastik, hanya 950.000 ton yang memenuhi pasokan industri daur ulang. Kekurangan ini juga dibuktikan dengan berkaca pada India. Walau memiliki karakteristik serta jumlah penduduk pesisir yang hampir sama, India hanya menempati urutak ke-12 dengan angka pencemaran sampah plastik ke laut yakni 0,09 sampai 0,24 juta ton per tahun.
Kontroversi Larangan Kantong Plastik
Larangan kantong plastik menjadi dilematis kala urgensi menjaga lingkungan menabrak beberapa kepentingan. Mengulik lewat dimensi yang lain, sebelumnya, Pergub Bali No. 97 tahun 2018 serta Peraturan Wali Kota Bogor No. 61 tahun 2018 digugat di Mahkamah Agung karena dianggap tidak sesuai dengan UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan merugikan pelaku ekonomi. Hal ini membuktikan jika larangan kantong plastik sudah menuai pertentangan di awal kebijakan ini diberlakukan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, larangan kantong plastik sekali pakai dinilai tidak menyelesaikan masalah. Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS) mengungkap bahwa solusi sampah plastik sebenarnya ada dalam manajemen dan pengelolaanya. Pengelolaan sampah yang belum diperbarui justru tetap melanjutkan masalah yang ada, dan tidak dapat dipungkiri menimbulkan masalah yang baru.
Dilihat dari dimensi ekonomi. Industri plastik, pelapak, dan pemulung menjadi pihak-pihak yang begitu terdampak. Menurut Kementerian Perindustrian, industri plastik masih memerlukan bahan baku sebanyak 600.000 ton. Pelapak atau UMKM belum siap mengganti penggunaan plastik, disebabkan atas mahal dan sulitnya mencari kantong belanja ramah lingkungan serta kekhawatiran akan turunnya animo konsumen. Daripada itu, larangan kantong plastik akan sangat berdampak pada nasib pemulung, pekerja, dan masyarakat luas yang sangat bergantung pada kantong plastik.
ADVERTISEMENT
Selain dampaknya, larangan kantong plastik dinilai mengabaikan potensi ekonominya. Dilansir dari Kata Data, 260 fasilitas daur ulang sampah plastik di Amerika Serikat dapat menghasikan 38.500 lapangan pekerjaan, 4,1 miliar dollar efisiensi produk daur ulang, 5,8 miliar dollar dampak supplier dan belanja pegawai, hinga 2,2 miliar dollar upah karyawan. Industri daur ulang plastik terlalu potensial untuk tidak dipertimbangkan.
Praktik di lapangan, sosialisasi akan kebijakan larangan kantong plastik sekali pakai belumlah maksimal, banyak yang belum mengerti akan aplikasi kebijakan. Selain itu, muncul masalah akan kriteria kantong belanja ramah lingkungan itu sendiri. Apakah Oxo-Biodegradable atau Compostable. Bahkan, produksi kantong plastik berbahan High Density Poly Etilen (HDPE) dinilai lebih ramah lingkungan dari kantong berbahan kertas, Low Destiny Poly Etylene (LDPE), dan Biodigradable. Kembali soal pengelolaan sampah, jika kantong plastik ramah lingkungan tidak didefinisikan sedemikian rupa, bukan tidak mungkin kantong baru tersebut akan menjadi ancaman baru.
Terakhir adalah konsistensi kebijakan dan segmentasi kata antara “kantong plastik” dan “plastik.” Yang dikhawatirkan adalah persepsi keliru masyarakat yang menganggap larangan “kantong plastik” telah mencakup semuanya. Padahal kantong plastik adalah bagian kecil dari plastik-plastik lainnya yang terbentuk dalam kemasan, sachet, wadah minuman dan lain sebagainya. Sehingga, larangan kantong plastik seharusnya bukan kebijakan final untuk melarang penggunaan plastik.
ADVERTISEMENT
Efektifkah larangan kantong plastik sekali pakai diberlakukan? Perlu digarisbawahi jika tidak ada satupun kebijakan dengan implikasi sempurna. Awalnya sebagian masyarakat menghendaki larangan kantong plastik, setelah diberlakukan mulai muncul beberapa polemik. Penulis secara pribadi berpendapat bahwa larangan kantong plastik adalah langkah awal, dan sebagaimana langkah awal, perlu ditindaklanjuti, dipertimbangkan, dan disesuaikan. Anggaplah kebijakan ini sebagai hasil, karena porsi yang didapatkan isu lingkungan sering kali tidak seimbang. Tentunya etika dalam membangun dan membuat kebijakan harus dipertahankan, yakni prioritas menumbuhan ekonomi serta proyeksi menjaga lingkungan.