Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dinamika Hubungan China-ASEAN: Konflik Laut Cina Selatan
17 November 2022 9:06 WIB
Tulisan dari ZULKIFLI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dilihat dari perspektif ekonomi
Peristiwa saling klaim antara China dengan beberapa negara ASEAN atas kepemilikan perairan dan apa yang ada di dalamnya di Laut China selatan sudah berlangsung sejak lama. Hal ini terjadi karena adanya klaim yang di lakukan secara historis dan sepihak oleh pihak China yang menggunakan garis imajiner yang di kenal dengan sembilan garis putus-putus untuk menandai daerah kekuasaan China atas kawasan laut China selatan. Klaim ini sudah di lakukan China sejak era kekuasaan Kuomintang di tahun 1947 dan di tegaskan kembali oleh Mau Zedong di tahun 1952. Dimana sejarah inilah yang membuat pemerintah China saat ini untuk melakukan klaim secara historis atas kepemilikan perairan tersebut.
ADVERTISEMENT
China melakukan klaim atas wilayah ini karena memiliki tujuan tersendiri terlepas dari aspek militer, tujuan dari klaim atas laut China selatan adalah karena tujuan ekonomi. Dimana perairan laut China selatan mengandung banyak sekali sumber daya alam yang dapat menunjang perekonomian di China. Kandungan biota laut perikanan menjadikan banyak nelayan dari berbagai negara datang ke kawasan ini untuk menangkap ikan, karena produksi ikan dari tempat ini sangat besar. Dari data yang di tunjukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Natuna tahun 2019 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan tangkap sebesar 104. 879,82 ton. Ini hanya data yang di keluarkan oleh pemerintah Kabupaten Natuna yang mana kabupaten ini masih di masukan oleh China dalam Nine dash Line pemerintah China. Hanya untuk produksi ikan yang ada di Natuna dan itu hanya sebagian kecil wilayah dari laut China selatan yang di klaim oleh China.
ADVERTISEMENT
China memberikan izin kepada rakyatnya untuk melakukan aktivitas ekonomi di kawasan perairan ini sehingga menyebabkan beberapa negara terlibat konfrontasi dengan nelayan yang berasal dari China, salah satunya adalah Indonesia yang secara keras melarang pihak asing untuk memasuki dan melakukan aktivitas ekonomi di dalam teritori perairan Indonesia. Contohnya pada tahun 2016 ketika nelayan dari China melakukan kegiatan penangkapan ikan di dalam laut natuna utara dimana teritori itu masih termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sebagai negara kepulauan dan di dasari oleh UNCLOS 1982. Meskipun China secara jelas telah melakukan pelanggaran terhadap UNCLOS 1982 pemerintah China masih membela diri dengan mengatakan bahwa nelayan dari China bebas untuk melakukan penangkapan ikan di perairan tersebut karena masih termasuk dalam Nine Dash Line yang di tetapkan oleh pemerintah China sejak 1947.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya produksi ikan yang tinggi yang menjadikan China ingin menguasai perairan ini, tetapi ada faktor lain yang menjadi penyebabnya yaitu terkait dengan kandungan minyak dan gas (migas) yang ada di dalam laut di laut China selatan. Dengan kandungan migas yang di miliki dapat menjadikan China semakin tertarik untuk menguasai perairan ini karena bisa mengelola dan memanfaatkan kandungan migas yang di miliki oleh laut tersebut untuk menjadi sumber pendapatan negara China kedepannya jika berhasil di kuasai. Kandungan minyak yang dimiliki oleh laut China selatan berada pada kisaran 7,7 miliar barel dan kandungan gas alam sebesar 266 triliun kaki kubik. Dengan kandungan migas yang besar dapat mendukung produksi industri yang di miliki oleh China, secara China merupakan salah satu negara dengan kegiatan industri yang besar dan mengalami pertumbuhan setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang menjadikan China untuk menjadikan kawasan perairan ini sebagai daerah kekuasaannya adalah karena Laut China selatan adalah wilayah yang menjadi jalur perdagangan internasional, dimana Laut China selatan adalah wilayah yang menjadi jalur perdagangan yang sangat strategis karena menjadi rute utama bagi sepertiga pelayaran yang ada di dunia. Dan jika China berhasil menguasai kawasan ini, China akan memantau dan memonitoring kapal yang lewat di perairan tersebut. Dari sistem pemantau monitoring skylight yang di lakukan oleh pemerintah kabupaten Natuna menunjukkan ada 1.000 unit kapal yang lalu-lalang melalui perairan tersebut (Pemkab Natuna,2020).
Potensi yang di miliki oleh Laut China selatan menjadikan wilayah ini sebagai wilayah yang memiliki konflik dengan negara-negara yang berada di kawasan tersebut terutama negara ASEAN yang berbatasan langsung dengan daerah yang di klaim oleh China sebagai wilayah kekuasaannya. Oleh sebab itu ASEAN mengambil inisiatif untuk melakukan kesepakatan dengan pemerintah China melalui Declaration of Conduct (ODC) mengenai kode etik yang harus di taati oleh negara-negara ASEAN dengan China, dan ini di sepakati di tahun 2002. Akan tetapi China melanggar perjanjian tersebut tidak sampai dua dekade dari perjanjian itu di sepakati, yang membuat beberapa tahun belakangan China banyak melakukan kontak dengan negara-negara ASEAN di laut China selatan. Hingga saat ini jalan penyelesaian konflik jika terjadi penangkapan yang di lakukan oleh negara ASEAN kepada nelayan yang melanggar garis batas teritori adalah dengan melakukan negosiasi secara bilateral oleh negara yang saling berkonflik.
ADVERTISEMENT