Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Resiko Stigma Sosial Di Balik Euforia Tato Dan Modifikasi Tubuh? Masa Iya?
20 Desember 2023 8:08 WIB
Tulisan dari Zuriyan Rimanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tato dan beragam modifikasi fisik sudah menjadi tren yang sangat populer dikalangan anak muda dan generasi milenial saat ini. Berbagai data survei menunjukkan peningkatan signifikan jumlah orang yang memiliki tato maupun melakukan piercing atau implan tubuh dalam beberapa tahun terakhir. Di Amerika Serikat misalnya, diperkirakan lebih dari 30% orang dewasa kini memiliki setidaknya satu tato, naik hampir dua kali lipat dibandingkan satu dekade lalu.
ADVERTISEMENT
Kenapa sih terjadi fenomena tato dan modifikasi tubuh, apa faktornya?
Fenomena maraknya tato dan modifikasi tubuh ini tak pelak didorong oleh beragam faktor. Sebagian besar kalangan anak muda modern kini memandangnya sebagai cara berekspresi dan mewujudkan aktualisasi diri. Tato dan piercing juga dipandang sekedar gaya hidup mengikuti tren yang tengah populer di kalangan selebriti dan publik figur idola mereka. Namun di balik euforia dan antusiasme tersebut ternyata masih menyimpan sejumlah risiko dan bahaya yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Fenomena tato dan beragam modifikasi tubuh kian marak dikalangan anak muda dan generasi milenial belakangan ini. Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2019, tercatat bahwa sebanyak 38% orang Amerika memiliki minimal satu tato di tubuh mereka. Angka ini menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tahun 2003 di mana hanya 16% orang Amerika yang bertato, dan 23% pada tahun 2015 (Stern, 2019). Selain tattoo, modifikasi tubuh lainnya seperti piercing atau penindikan juga turut meningkat popularitasnya. Diperkirakan sekitar 7% orang Amerika saat ini memiliki piercing di area sensitif seperti lidah atau alis mata, yang merupakan lokasi tidak lazim untuk dipasangi perhiasan penindik (Heywood, et al., 2012).
ADVERTISEMENT
Antusiasme melakukan tato dan modifikasi tubuh didorong oleh keinginan mengekspresikan identitas personal dan mewujudkan aktualisasi diri. Bagi banyak kalangan milenial, tato dan piercing kini lebih dipandang gaya hidup ketimbang pemberontakan. Hal ini terlihat dari survei 14 ribu mahasiswa Amerika, di mana 40% menyatakan memiliki tato karena alasan fashion (Wohlrab, et al., 2007). Adapula yang melakukannya demi mengikuti tren yang sedang populer di kalangan selebriti dan influencer jejaring sosial.
Tapi apakah terdapat dampak dari fenomena tato dan modifikasi tubuh tersebut?
di balik euforia tersebut masih tertanam pandangan dan prasangka negatif di sebagian masyarakat terhadap orang bertato. Sebuah studi yang dilakukan pada 2000 pasien rumah sakit di Minnesota, Amerika Serikat, menemukan 30% perawat dan dokter memiliki persepsi buruk terhadap pasien mereka yang bertato (Thomas, et al., 2010). Para tenaga medis ini cenderung memandang negatif bahkan men-stereotipkan pasien bertato dengan pandangan seperti pemalas, suka bersenang-senang, hingga terlibat penyalahgunaan narkoba.
ADVERTISEMENT
Akibat pandangan dan stigma semacam ini, diskriminasi terhadap orang-orang bertato masih kerap dan mudah terjadi dalam beragam bentuk. Misalnya saja dalam hal kesempatan kerja. Penelitian di Prancis mengungkap 22% orang bertato mengaku mengalami diskriminasi dan penolakan dalam melamar pekerjaan karena memiliki tato di tubuh mereka (Zestcott, et al., 2018).
Memangnya Diskriminasi Pada Fenomena Tersebut Benar Benar Terjadi?
Di Inggris dan Australia juga dilaporkan adanya karyawan yang dipecat, diturunkan jabatan, atau mendapatkan perlakuan intimidasi di tempat kerja lantaran memiliki tato (Timming, et al., 2017). Bahkan di Amerika Serikat, pernah terjadi kasus seorang guru sekolah negeri dipecat karena dianggap menjadi 'teladan yang buruk' bagi muridnya akibat memiliki tattoo bunga kecil di pergelangan kaki (Arscott, 2013).
ADVERTISEMENT
Survei pada 3000 warga di Prancis mengungkap 22% responden bertato mengalami diskriminasi dalam mencari pekerjaan (Zestcott, et. al., 2018). Di Australia, 10% pegawai menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dan 7% ditolak melayani pelanggan karena memiliki tato (Timming, et al., 2017). Bahkan di Amerika dilaporkan kasus seorang guru yang dipecat karena memiliki tattoo bergambar bunga di pergelangan kakinya (Arscott, 2013). Hal ini tentu saja merugikan dan melanggar hak asasi orang bertato.
Di sisi lain, modifikasi fisik ekstrim yang kian populer dewasa ini juga menyimpan risiko bahaya kesehatan. Penelitian di Swedia mengungkap 6,3% kasus infeksi kulit terkait tindik dan tato disebabkan oleh tinta atau perhiasan yang terkontaminasi, serta prosedur yang tidak steril (Mak, 2006). Demikian pula operasi implan metal di bawah kulit yang tidak jarang berujung pada migrasi atau reaksi alergi implan pada 40% penerima (Hwang, et al, 2014).
ADVERTISEMENT
Respons terhadap fenomena ini tentu membutuhkan edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai risiko nyata di balik popularitas tato dan modifikasi tubuh, tanpa harus memandang negatif kelompok tertentu. Sejumlah kampanye anti diskriminasi bertato juga penting untuk menekan stigma yang berlebihan. Di sisi lain, regulasi prosedur dan standarisasi klinik modifikasi tubuh oleh pemerintah guna meminimalisir potensi bahaya kesehatan perlu ditingkatkan (Makkai & McAllister, 2001).
Perkembangan budaya tato dan modifikasi tubuh di masa mendatang diharapkan dapat berjalan seiring dengan menurunnya risiko stigmatisasi sosial serta efek samping kesehatan yang selama ini kerap terjadi. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dibutuhkan kebijakan yang inklusif dan tidak diskriminatif terhadap kelompok minoritas, serta upaya edukasi dan kampanye publik secara massif dan berkelanjutan guna meningkatkan pemahaman, toleransi dan reduksi prasangka negatif di tengah masyarakat terhadap mereka yang memiliki tato maupun melakukan modifikasi tubuh.
ADVERTISEMENT
Daftar bacaan
Arscott, K. (2013). School Says Tattoos Make Teacher Unfit Role Model. ABC News. Diakses dari https://abcnews.go.com/US/school-tattoos-make-teacher-unfit-role-model/story?id=18958768
Heywood, W., et al. (2012). Who Gets Tattoos? Demographic and Behavioral Correlates of Ever Being Tattooed in a Representative Sample of Men and Women. Annals of Epidemiology, 22(1), 51–56.
Hwang, K., et al. (2014). Complications Associated with Forehead and Brow Procedures and Corrective Techniques. Seminars in Plastic Surgery, 28(1), 15–22.
Makkai, T. & McAllister, I. (2001). Prevalence of Tattoos and Body Piercings in the Australian Community. Communicable Diseases Intelligence, Vol. 25 No 2.
Makkai, T. & McAllister, I. (2001). Public Perceptions of the Relationship between Tattoos, Deviance and Risk-Taking. Journal of Psychology and Human Sexuality, Vol. 28, No. 6.
ADVERTISEMENT
Stern, M. (2019). More Young People Are Into Body Modification. Diakses dari https://www.vice.com/en/article/7x5dda/more-young-people-are-into-body-modification
Thomas, J. P., et. al. (2010). Dispelling Common Myths Surrounding Tattooing as a Risk Factor for Hepatitis C Infection. The New Zealand Medical Journal 123(1325).
Timming, A. R., et al. (2017). Tattoo visibility and perceptions of employees’ personal characteristics: a survey experimental design. Journal of Managerial Psychology. 32(1), 84-100.
Wohlrab, S., Stahl, J., & Kappeler, P. M. (2007). Modifying the body: Motivations for getting tattooed and pierced. Body Image, 4(1), 87-95.
Zestcott, C.A., et. al. (2018). Examining Perceived Tattoo Stigma, Criminal Behavior and Recidivism among Former Prison Inmates. Deviant Behavior, 39(2), 224–238.