Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
SETARA Institute Desak Anwar Usman Mundur sebagai Hakim MK
8 November 2023 9:44 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Dicopot dari jabatannya sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai belum cukup sebagai sanksi untuk Anwar Usman yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat terkait putusan nomor 90/PUU-XXI-2023 soal syarat capres-cawapres. Anwar Usman didesak untuk mundur sebagai hakim konstitusi.
ADVERTISEMENT
"Untuk memulihkan marwah mahkamah, SETARA Institute mendesak Anwar Usman mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Hakim MK, sehingga tidak lagi membebani mahkamah," kata Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani, dalam keterangannya, Rabu (8/11).
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Pelanggaran berat Anwar Usman secara moral dan politik dinilai telah menjadi bukti bahwa putusan nomor 90 tersebut bukan diputus Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana irah-irah dalam putusan MK, tetapi demi kepentingan memupuk kuasa.
"Secara moral dan politik, Putusan 90 kehilangan legitimasi," kata dia.
Sekalipun nyaris kehilangan harapan, lanjut Ismail, ruang untuk memulihkan kualitas demokrasi dan nomokrasi (kedaulatan hukum) sesuai UUD 1945, masih bisa dilakukan oleh MK.
Sebab, MK hari ini akan menyidangkan perkara uji materiil syarat Capres dan Cawapres dan juga menyidangkan perkara uji formil atas Putusan 90 yang diajukan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, atas nama Konstitusi bisa mengoreksi Putusan 90.
ADVERTISEMENT
"Meski tidak akan mampu menahan laju Gibran masuk gelanggang Pilpres, karena syarat verifikasi calon presiden dan calon wakil presiden, juga diagendakan akan diumumkan pada hari ini," ucap Ismail.
Putusan MKMK Jadi Obat Penawar Sesaat
Ismail Hasani mengatakan putusan MKMK kemarin menjadi obat penawar sesaat atas amarah publik yang kecewa dan marah dengan Putusan 90/PUU-XXI/2023, yang disebutnya telah menjadi puncak kejahatan konstitusi dan matinya demokrasi di Indonesia.
"Kemarahan publik bukan hanya soal kandidasi Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Jokowi, yang melaju pesat menjadi calon wakil presiden dengan landasan Putusan 90, tetapi yang utama justru karena peragaan kekuasaan yang merusak hukum dan konstitusi guna mencapai kehendak dan kekuasaan," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Demokrasi telah menjelma menjadi vetokrasi, di mana sekelompok orang dan kelompok kepentingan yang sangat terbatas, mengorkestrasi Mahkamah Konstitusi untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka mengikuti kandidasi Pilpres dengan dengan memblokir kehendak demokrasi dan konstitusi," ujarnya.